Tepung kasava yang terbuat dari ubi kayu memiliki potensi besar sebagai alternatif penggunaan terigu. Ketersediaan ubi kayu yang melimpah dan harga terjangkau memberi kontribusi terhadap ketahanan pangan sehingga menjadikannya solusi untuk mengantisipasi krisis pangan global. Namun, tantangan utama dalam pemanfaatan tepung kasava adalah mutunya sering tidak konsisten, yang dapat memengaruhi standar produk olahan.
Tepung kasava termodifikasi (Mocaf) sebagai produk turunan dari ubi kayu, diharapkan dapat mendukung kemandirian pangan di tengah dinamika politik global yang semakin menekankan kepentingan internal setiap negara. Hingga saat ini, inovasi dalam industri Mocaf terus berkembang dan menjadi salah satu solusi potensial bagi produk pangan Indonesia.
Hal tersebut diungkap Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari pada Webinar Agroinfuture #8 bertema “Inovasi Tepung Kasava Termodifikasi: Kinerja Starter dan Komersialisasi Produk”, Selasa (24/09). Webinar ini membahas peran Mocaf dalam program hilirisasi dan ketahanan pangan di Indonesia.
Puji menjelaskan bahwa pemerintah berupaya meningkatkan produksi tepung lokal, termasuk tepung kasava karena potensinya dalam menghemat devisa yang selama ini terserap untuk impor terigu. Mocaf dapat menjadi bahan baku alternatif untuk berbagai produk pangan dengan harga yang lebih terjangkau. Varietas unggul ubi kayu lokal semakin memperkuat prospek pengembangan Mocaf sebagai sumber tepung berkualitas.
Selain itu, tepung kasava juga memiliki sifat penting yang dapat berdampak positif pada kesehatan, seperti membantu penanganan autisme dan penyakit lainnya. Pengembangan industri tepung kasava ini diharapkan juga akan meningkatkan mutu produk akhir yang dihasilkan, serta memperluas ketersediaan bahan baku tanpa bersaing dengan produksi rumah tangga.
“Ke depan, diharapkan produk berbasis tepung kasava dapat memenuhi kebutuhan pasar dengan cepat dan efisien. Organisasi Riset Pangan dan Pertanian BRIN memproyeksikan bahwa program-program strategis, termasuk yang direncanakan untuk tahun 2025, akan memanfaatkan teknologi maju yang diterapkan secara holistik dan integratif,” pungkasnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, inovasi dalam agroindustri perlu didorong, khususnya dalam pengembangan produk dan pertanian yang mendukung program diet sehat.
“Dengan adanya proposal yang jelas dan langkah-langkah terstruktur, diharapkan semua pihak dapat bekerja sama untuk mencapai hasil optimal. Sistem baru yang akan diterapkan mulai tahun depan, termasuk pengembangan komoditas seperti ubi kayu, dapat meningkatkan daya saing produk lokal dan memberikan manfaat yang signifikan bagi semua pihak,” jelas Puji.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Riset Agroindustri, ORPP BRIN, Taufik Hidayat menjelaskan bahwa webinar ini merupakan salah satu upaya untuk mempromosikan hasil-hasil riset di bidang agroindustri yang berdampak, terutama untuk peningkatan nilai tambah produk pertanian yang mendukung upaya diversifikasi pangan. Hasil riset pengembangan produk turunan ubi kayu telah banyak diaplikasikan, baik di sektor pangan maupun non-pangan.
“Salah satu komoditas yang mendukung diversifikasi pangan lokal diharapkan dapat diekspor dalam bentuk produk antara dan dikembangkan sebagai alternatif pangan di masa depan,” tuturnya.
Pada webinar kali ini, hadir pula narasumber Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Agroindustri ORPP BRIN, Sri Widowati dengan paparannya berjudul “Inovasi Starter Produksi Tepung Kasava Terfermentasi Meningkatkan Nilai Tambah Ubi Kayu”. Sebagai pendahuluan, ia menyampaikan bahwa produk pangan olahan berbasis tepung, seperti aneka roti, pasta, aneka kue basah dan kue kering, telah menjadi bagian pola makan masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Sri Widowati menjelaskan bahwa konsumsi terigu terus meningkat tajam. Terigu diperkenalkan pada tahun 1967 dengan konsumsi hanya 1,36 kg per kapita. Angka ini melonjak menjadi 15,49 kg per kapita pada tahun 2008, dan mencapai 25 kg per kapita pada tahun 2018. Kenaikan konsumsi terigu ini juga diiringi dengan peningkatan impor gandum yang semakin pesat, yang mencapai 11,8 juta ton pada tahun tersebut, setara dengan nilai sekitar 36 triliun rupiah. Dari total impor, sekitar 8 juta ton digunakan untuk pangan, sementara 3,8 juta ton lainnya untuk pakan dan kebutuhan lainnya.
Dengan tren peningkatan konsumsi dan impor ini, penting untuk memperhatikan ketersediaan bahan pangan lokal yang dapat mendukung ketahanan pangan nasional, salah satunya melalui pengembangan tepung lokal seperti tepung kasava termodifikasi.
Ia juga menjelaskan, umbi lokal merupakan sumber karbohidrat (KH) yang sangat potensial untuk dijadikan bahan baku tepung. Di antara berbagai jenis umbi, ubi kayu menonjol sebagai pilihan utama karena ketersediaan, keterjangkauan, dan harga yang bersaing. Selain ubi kayu, beberapa umbi lokal lainnya juga memiliki potensi, yaitu ubi jalar, talas, gembili, gadung, porang, garut, ganyong, dan uwi.
“Pengembangan tepung dari aneka umbi ini tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga berkontribusi pada kemandirian pangan nasional. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang beragam, diharapkan produk olahan tepung dari umbi dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan dan terjangkau bagi masyarakat”, ungkapnya.
Sri Widowati menambahkan, penggunaan tepung kasava terfermentasi, atau mocaf, dalam industri pangan semakin meningkat. Namun, Indonesia masih belum mampu mensubstitusi penggunaan terigu lebih dari 10%. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah ketidakstabilan mutu, di mana karakteristik mutu tepung kasava sering tidak konsisten. Hal ini menjadi kendala bagi industri pangan, terutama pada skala besar, karena mempengaruhi kualitas produk olahan yang dihasilkan.
Selain itu, berbeda dengan terigu dan tepung beras, belum ada klasterisasi yang jelas untuk tepung kasava dan kesesuaiannya dengan jenis produk akhir. Persaingan untuk mendapatkan pasokan bahan baku berkualitas juga sangat ketat, karena tepung kasava yang ada di pasaran umumnya menggunakan bahan baku dari ubi kayu jenis manis (HCN < 50 ppm), yang biasanya dikonsumsi harian rumah tangga atau diolah menjadi produk makanan tradisional.
Menurutnya, harga ubi kayu jenis manis lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu jenis pahit sedang, yang berdampak pada biaya produksi tepung kasava. Oleh karena itu telah dihasilkan riset pengembangan starter fermentasi tepung kasava yang sesuai untuk bahan baku ubi kayu jenis pahit sedang. Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, diharapkan tepung kasava terfermentasi dapat berkontribusi lebih besar terhadap ketahanan pangan nasional dan mengurangi ketergantungan pada terigu impor.
“Klasterisasi tepung kasava diperlukan sebagai acuan bagi pengguna, termasuk industri pangan, UMKM, dan rumah tangga, dalam memilih tepung sesuai dengan jenis produk akhir yang diinginkan. Pemanfaatan ubi kayu jenis pahit sedang (HCN 50-100 ppm) dapat memberikan segmen tersendiri dengan rendemen pati yang lebih tinggi,” jelasnya.
Diharapkan, perkembangan di sisi hulu ini dapat memacu produksi ubi kayu dan meningkatkan nilai komoditas pangan lokal. Dengan demikian, ketersediaan tepung kasava akan meningkat, berkontribusi pada diversifikasi pangan lokal, serta memperkuat ketahanan dan kemandirian pangan di Indonesia.
Bertempat di Gedung LPMPP
Bertempat di Fakultas Ekonomi pukul 09:00 WITA
Pukul 09.30 WITA bertempat di Gedung LPPM Ruang Sidang Lt. 2
Lokasi bertempat di Rektorat UNG