Jakarta, Humas LIPI. Keanekaragaman hayati Indonesia menduduki urutan kedua di dunia setelah Brazil dan urutan pertama jika biota laut ikut diperhitungkan. Dari sekitar 30 ribu spesies tumbuhan yang ada di kepulauan Indonesia, diperkirakan 9.600 spesies adalah tumbuhan obat, namun baru sekitar 300 spesies yang dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional.
Sejak zaman dahulu, manusia bergantung pada bahan alam untuk pemeliharaan kesehatan dan obat-obatan. Pengobatan tradisional Cina, Ayuverda (India), Unani (Asia Tengah), Kampo (Jepang), telah berkembang sebagai sistem pengobatan tradisional yang digunakan selama ribuan tahun. Indonesia juga memiliki obat tradisional yang dikenal lewat jamu. “Pengalaman historis dengan tumbuhan sebagai bahan terapi telah membantu memperkenalkan senyawa kimia tunggal dalam pengobatan modern yang ada sekarang,” jelas peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI, Nina Artanti dalam orasi pengukuhan sebagai profesor riset bidang biokimia di Jakarta pada Selasa (20/8).
Nina menjelaskan, Indonesia memiliki banyak herbal yang digunakan turun temurun tetapi hanya memiliki data empiris. “Perlu dilakukan uji bioaktivitas yang merupakan pembuktian ilmiah mengenai khasiat herbal tersebut,” ujar Nina. Dirinya menjelaskan, kebanyakan penelitian mengenai manfaat obat herbal dilakukan dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik, sedangkan secara tradisional penggunaan herbal adalah dengan cara diseduh atau direbus dengan air. “Penelitian menggunakan ekstrak air perlu dilakukan mengingat kandungan senyawa yang terekstrak dalam air mungkin berbeda dengan yang terekstrak dalam pelarut organik.”
Salah satu herbal yang banyak digunakan untuk pengobatan alternatif penyakit kanker adalah benalu. “Benalu merupakan tumbuhan parasit yang dianggap sebagai tumbuhan yang merugikan yang dapat menurunkan produktifitas tumbuhan inangnya. Namun benalu juga dikenal sebagai salah satu tumbuhan obat,” jelas Nina. Dirinya menjelaskan, di Eropa, benalu spesies Viscum album yang tumbuh pada berbagai inang, telah digunakan sebagai obat alternatif untuk mengobati kanker dengan merk dagang diantaranya Iscador, Helixor, and Eurixor yang sudah dalam tahap uji klinis.
Dengan strategi bioactivity guided isolation terhadap aktivitas antioksidan, penelitian Nina telah berhasil mengisolasi senyawa quercitrin dari benalu belimbing (Dendrophthoe pentandra). “Senyawa ini terdapat dalam jumlah mendekati 90% dari total ekstrak dengan aktivitas antioksidan yang tinggi,” ujar Nina. Sementara rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.), adalah obat tradisional anti-inflamasi, anti-kanker dan hepatoprotektif. “Ekstrak etanol Hedyotis corymbosa menunjukkan aktivitas penghambatan pada sel kanker payudara manusia,” ujar Nina.
Nina juga melakukan uji bioaktivitas penelitian ekstrak air benalu nangka (M. cochinchinensis) dan teh herbal campuran benalu (D. curvata), dan cakar ayam (Selaginella sp.) untuk pengembangan obat bioaktivitas antikanker dari ditemukannya satu jenis kapang endofit dari T. sumatrana yaitu Colletotrichum sp. TSC13 yang memiliki bioaktivitas antidiabetes.
Tanaman lain yang bisa dijadikan bahan alam obat herbal adalah Calophyllum atau dikenal masyarakat dengan nama nyamplung. “Isolasi dan karakterisasi senyawa aktif dari nyamplung telah memberikan peluang untuk pemanfaatannya sebagai obat herbal dan obat baru, khususnya obat antikanker dan obat antimalaria yang bermanfaat bagi industri dan ilmu pengetahuan,” terang Jamilah, peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI dalam orasi pengukuhan sebagai profesor riset bidang kimia organik.
Jamilah menjelaskan, nyamplung mengandung senyawa santon, kumarin, biflavonoid, benzofenon dan neoflavonoid, triterpen, dan steroid yang memiliki aktivitas antiimflamasi, antijamur, antihipoglikemia, antiplatelet, antitumor, antimalaria dan antibakteri serta antiTBC. “Bervariasinya tumbuhan nyamplung sebagai sumber bahan baku, menuntut banyak riset dan pengembangan agar dapat menghasilkan senyawa baru untuk dijadikan obat baru antimalaria dan antikanker yang lebih efektif, aman, dan ekonomis.”
Menurut Jamilah, tantangan di masa depan adalah meningkatnya jumlah penderita kanker setiap tahun dan sulitnya penanggulangan malaria di Indonesia. “Perlu obat antikanker dan obat antimalaria yang tidak resisten terhadap obat yang sudah ada di Indonesia,” tutupnya. (drs/ed: fz)
Sivitas Terkait : Dr. Agus Haryono M.Sc.
Sumber : LIPI (28082019)
Bertempat di Gedung LPMPP
Bertempat di Fakultas Ekonomi pukul 09:00 WITA
Pukul 09.30 WITA bertempat di Gedung LPPM Ruang Sidang Lt. 2
Lokasi bertempat di Rektorat UNG